Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya

Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya


Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.

 

Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya ini yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, dan/atau struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Sedangkan pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya. Sedangkan yang dimaksud Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.

 

Pasal 2 ayat (1) Sistem Zonasi ditetapkan untuk mengatur fungsi dan pemanfaatan ruang Situs dan/atau Kawasan Cagar Budaya. (2) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat unsur yang teratur dan saling berkaitan dalam membentuk Zonasi. (3) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas: a. zona inti; b. zona penyangga; c. zona pengembangan; dan/atau d. zona penunjang. (4) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan hasil kajian. (5) Komposisi zona pada sistem Zonasi paling sedikit terdiri atas zona inti dan zona penyangga. (6) Komposisi jumlah zona, penempatan, dan keluasan dibuat berdasarkan keadaan dengan mengutamakan Pelindungan benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, dan/atau lanskap budaya yang berada di dalam Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya.

 

Bentuk Zona

Pasal 3 ayat (1) Bentuk zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dapat berupa: a. blok; b. plasma-sel; c. koridor; dan/atau d. multibentuk. (2) Bentuk zona penyangga, zona pengembangan, dan zona penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b sampai dengan huruf d ditentukan berdasarkan batas Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya.

 

Pasal 4 ayat (1) Blok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a berbentuk konsentris atau berdampingan yang dibuat dengan asumsi seluruh bagian Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya mempunyai nilai, kebutuhan, dan tujuan Pelindungan yang sama. (2) Plasma-sel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b berbentuk konsentris atau berdampingan yang dibuat dengan asumsi Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya memiliki beragam kondisi, nilai, kebutuhan, dan tujuan Zonasi yang berbeda. (3) Koridor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c berbentuk memanjang dengan asumsi Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya cenderung membentuk ruang berupa lajur, jalan, atau rute. (4) Multibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dapat berbentuk plasma-sel, blok, dan/atau koridor dengan asumsi Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya diperlukan dua atau lebih bentuk. (5) Bentuk zona berupa blok, plasma-sel, koridor, dan multibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Fungsi Dan Batas Pemanfaatan Ruang

Pasal 5 ayat (1) Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a memiliki fungsi sebagai area Pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting dari Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya. (2) Zona penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b memiliki fungsi sebagai area yang melindungi zona inti. (3) Zona pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c memiliki fungsi sebagai area yang diperuntukkan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya. (4) Zona penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d memiliki fungsi sebagai area yang diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang serta untuk mendukung kegiatan komersial dan rekreasi umum.

 

Pasal 6 ayat (1) Zona inti dapat dimanfaatkan secara sangat terbatas yang tidak mengakibatkan dampak negatif terhadap kondisi fisik Cagar Budaya. (2) Zona penyangga dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan umum dan penempatan fasilitas pendukung pelestarian Cagar Budaya yang tidak mengganggu estetika visual Cagar Budaya. (3) Zona pengembangan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan: a. rekreasi; b. daerah konservasi lingkungan alam; c. daerah lanskap budaya; d. kehidupan budaya tradisional; e. keagamaan; dan/atau f. kepariwisataan. (4) Zona penunjang dimanfaatkan bagi kepentingan: a. rekreasi; b. daerah konservasi lingkungan alam; c. lanskap budaya; d. kehidupan budaya tradisional; e. keagamaan; f. kepariwisataan; dan g. permukiman tradisional/lokal.

 

Kewenangan Penetapan Sistem Zonasi Cagar Budaya

Pasal 7 ayat (1) Sistem Zonasi Cagar Budaya ditetapkan oleh: a. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih; b. gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau c. bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota. (2) Dalam menetapkan sistem Zonasi Cagar Budaya, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya membentuk tim kerja.

 

Pasal 8 ayat (1) Pembentukan tim kerja oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal. (2) Pembentukan tim kerja oleh gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilaksanakan oleh kepala organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Pasal 9 ayat (1) Tim kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terdiri atas unsur: a. direktorat jenderal yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan atau organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya sesuai dengan kewenangannya; dan b. sumber daya manusia yang memiliki keahlian bidang ilmu/kompetensi yang berkaitan dengan Zonasi Cagar Budaya. (2) Tim kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengkajian terhadap ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur Jenderal atau kepala organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya. (3) Dalam melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tim kerja dapat mengikutsertakan: a. kementerian/lembaga terkait; dan b. akademisi.

 

Penetapan Sistem Zonasi Cagar Budaya

Pasal 10 Pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan melalui: a. pengumpulan data; b. pengolahan data; c. perumusan naskah kajian; dan d. konsultasi publik.

 

Pasal 11 Pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan dengan memperhatikan: a. peluang peningkatan kesejahteraan rakyat; b. kepentingan negara dan kepentingan daerah; c. kepadatan dan persebaran Cagar Budaya; d. pelestarian kebudayaan pendukung Cagar Budaya yang masih hidup di masyarakat; e. lingkungan alam; dan f. sistem Zonasi lain.

 

Pasal 12 ayat (1) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi pengumpulan data primer dan data sekunder. (2) Data primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data yang diperoleh atau dikumpulkan secara langsung di lapangan. (3) Data sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data yang sudah diolah terlebih dahulu dan/atau sumber lain sebagai tambahan informasi yang dapat diverifikasi keakuratannya.

 

Pasal 13 ayat (1) Data primer paling sedikit berupa data: a. arkeologi; b. lingkungan; c. pemanfaatan ruang; d. geografi; dan e. demografi. (2) Pengumpulan data primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan: a. alat navigasi berbasis satelit; b. instrumen terkait optis yang digunakan dalam pemetaan dan konstruksi bangunan; c. alat ukur jarak; d. pesawat tanpa awak; e. komputer dan perangkat lunak pengolah data pemetaan; f. kamera; g. alat pengukur kedalaman perairan, alat penggambar area bawah air, alat pemetaan pendeteksi objek bawah air, dan alat penyelaman khusus untuk melakukan kegiatan Zonasi di bawah air; dan/atau h. peralatan lain sesuai dengan kemajuan teknologi di bidang Zonasi.

 

Pasal 14 ayat (1) Data sekunder meliputi: a. peta; b. hukum; c. sejarah; d. sosiologi; dan e. data sekunder lainnya. (2) Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa peta: a. Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya; b. rupa bumi; c. tutupan lahan; d. penatagunaan lahan darat; e. penatagunaan laut; f. penatagunaan udara; g. rencana tata ruang darat; h. rencana tata ruang laut; i. rencana tata ruang udara; j. kontur tanah; k. persil/bidang tanah; l. garis pantai; m. hipsografi; n. batas wilayah laut; o. batas wilayah udara; dan/atau p. administrasi/batas wilayah Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya.

 

Pasal 15 Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi: a. kondisi fisik, sifat, dan nilai penting Cagar Budaya; b. jenis dan bentuk gangguan terhadap Cagar Budaya; c. potensi jenis dan bentuk ancaman terhadap Cagar Budaya; d. aktivitas Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya yang sudah dilaksanakan; e. kondisi lingkungan alam yang mempengaruhi Cagar Budaya dan nilai pentingnya; f. gambaran kehidupan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kependudukan; g. persepsi dan sikap masyarakat sekitar terhadap pelestarian Cagar Budaya dan rencana Zonasi; h. kebutuhan Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya; i. kepemilikan tanah masyarakat; j. peraturan perundang-undangan yang terkait; dan k. informasi lainnya.

 

Pasal 16 Pengolahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dilakukan melalui: a. pengelompokan data sesuai tema atau variabel yang dibutuhkan untuk penyusunan sistem Zonasi Cagar Budaya; b. identifikasi dan analisis data sesuai dengan tema atau variabel; c. penafsiran hubungan antardata untuk kebutuhan system Zonasi Cagar Budaya; dan d. penyusunan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan zona.

 

Pasal 17: Pengolahan data dilakukan untuk menentukan: a. zona; b. batas zona; dan c. batas pemanfaatan ruang.

 

Pasal 18: Zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a ditentukan berdasarkan kategori zona pada sistem Zonasi Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).

 

Pasal 19 ayat (1) Batas zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b ditentukan dengan mempertimbangkan batas: a. administrasi wilayah; b. satuan ruang kultural; c. satuan ruang alam; d. semi-arbitrer; dan/atau e. arbitrer. (2) Batas administrasi wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan batas yang ditentukan berdasarkan garis batas administrasi wilayah yang diakui oleh Pemerintah Daerah. (3) Batas satuan ruang kultural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan batas yang ditentukan berdasarkan rekonstruksi pola ruang asli dari warisan budaya atau Cagar Budaya yang dapat dibuktikan keasliannya. (4) Batas satuan ruang alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan batas yang ditentukan berdasarkan satuan ekologi tertentu yang dapat digunakan untuk menghasilkan pola ruang yang mempertahankan keaslian dan keutuhan ekosistem yang ada. (5) Batas semi-arbitrer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan batas yang ditentukan dengan berdasarkan batas buatan yang sudah ada. (6) Batas arbitrer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan batas yang ditentukan dalam hal batas satuan ruang alam dan semi-arbitrer di area Zonasi tidak dapat dikenali atau tidak ada sama sekali.

 

Pasal 20: Batas pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c ditentukan berdasarkan kebutuhan pemanfaatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

 

Pasal 21 ayat (1) Batas pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dibagi dalam klasifikasi: a. diizinkan; b. diizinkan secara terbatas; c. diizinkan secara bersyarat; dan d. tidak diizinkan. (2) Klasifikasi diizinkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan klasifikasi kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan fungsi zona dan tidak mengancam kelestarian Cagar Budaya. (3) Klasifikasi diizinkan secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan klasifikasi kegiatan yang memerlukan pembatasan pengoperasian, luas, dan/atau jumlah pemanfaatan untuk melindungi Cagar Budaya. (4) Klasifikasi diizinkan secara bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan klasifikasi kegiatan yang berpotensi mengancam kelestarian Cagar Budaya. (5) Klasifikasi tidak diizinkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan klasifikasi kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan fungsi zona dan mengancam kelestarian Cagar Budaya.

 

Pasal 22 ayat (1) Klasifikasi diizinkan secara bersyarat hanya dapat diberikan jika telah memenuhi kajian: a. dampak Cagar Budaya; b. lingkungan hidup; dan c. kesesuaian rencana kegiatan dengan rencana tata ruang dan/atau pemanfaatan ruang. (2) Kajian dampak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat prediksi, evaluasi, dan potensi dampak kegiatan terhadap Cagar Budaya. (3) Kajian dampak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mendapatkan persetujuan Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangannya. (4) Kajian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangannya. (5) Kajian kesesuaian rencana kegiatan dengan rencana tata ruang dan/atau pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangannya.

 

Pasal 23: Perumusan naskah kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dilakukan untuk menentukan sistem Zonasi Cagar Budaya berdasarkan hasil pengolahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.

 

Pasal 24 ayat (1) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dilakukan untuk menghimpun aspirasi publik. (2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait. (3) Hasil konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan naskah kajian.

 

Pasal 25 ayat (1) Tim kerja menyampaikan naskah kajian yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) kepada Direktur Jenderal atau kepala organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya. (2) Naskah kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, maksud, tujuan, kebijakan terkait, dan hasil konsultasi publik penentuan sistem Zonasi; b. dasar hukum dan kerangka pikir pelaksanaan kajian sistem Zonasi; c. metode pelaksanaan kajian sistem Zonasi; d. jumlah, jenis, dan bentuk Zonasi, serta fungsi ruang zona dan ketentuan di masing-masing zona; e. peta/gambar dalam bentuk analog dan digital dengan skala tertentu yang paling sedikit memuat: 1. peta situasi; 2. peta sebaran Cagar Budaya; 3. gambar irisan stratigrafi; 4. gambar irisan topografi/bentang alam; 5. peta persil/bidang tanah; 6. peta penggunaan lahan darat/laut/udara; 7. peta tumpang susun Zonasi dengan rupa bumi dan peta dasar lainnya sesuai dengan lingkup kajian; dan 8. peta Zonasi. f. klasifikasi pemanfaatan ruang sesuai dengan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia; dan g. kesimpulan yang berisi hasil rekomendasi sistem Zonasi Cagar Budaya. (3) Selain memuat hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), naskah kajian dapat memuat risalah kajian lain yang digunakan dalam proses penentuan sistem Zonasi Cagar Budaya.

 

Pasal 26 ayat (1) Direktur Jenderal atau kepala organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya mengusulkan penetapan sistem Zonasi Cagar Budaya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya. (2) Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan naskah kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).

 

Pasal 27 ayat (1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya menetapkan keputusan mengenai sistem Zonasi Cagar Budaya. (2) Keputusan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas; b. peta; c. batas keluasan ruang; dan d. batas pemanfaatan ruang.

 

Penandaan Zona

Dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya bahwa Sistem Zonasi Cagar Budaya yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), diberikan penandaan zona. (2) Penandaan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat tanda batas fisik pada setiap zona. (3) Tanda batas fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. peta Zonasi; b. pagar; dan/atau c. patok beridentitas. (4) Patok beridentitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pemantauan Dan Evaluasi

Pasal 29 ayat (1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan pemantauan dan evaluasi sistem Zonasi Cagar Budaya pada Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan. (2) Pemantauan dan evaluasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal. (3) Pemantauan dan evaluasi oleh gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kebudayaan pada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

 

Pasal 30 ayat (1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.(2) Pemantauan dan evaluasi sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terjadi keadaan: a. bencana pada Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya; b. perubahan luas wilayah administrasi pemerintahan; dan/atau c. perubahan peringkat Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi dapat menjadi dasar untuk mengubah sistem Zonasi Cagar Budaya.

 

Selengkapnya silankahkan download dan baca Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya. Link download Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024

 

Demikian informasi tentang Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2024 Tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya. Semoga ada manfaatnya.



= Baca Juga =


Post a Comment

Previous Post Next Post


































Free site counter


































Free site counter